Acara
ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan
kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut
diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara
diselenggarakan.
Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang
berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih
dari sekedarnya" cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan.
Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah
kenyataannya.
Entah
telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa
disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak
menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan
akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara
tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: "wajib")
untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib)
apabila ditinggalkan.
Para
pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang
mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar
berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki
pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Quran dan As
Sunnah.
Sebenarnya
acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan
kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan
Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh
setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu
wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman
(artinya):
"Maka
jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih
utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para
pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual
tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam,
di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan
acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah
seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya
yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana
sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal
mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan)
nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan
Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang
yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti
halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan
berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti
dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran,
maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari
aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan
merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan
agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan
beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan
doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua
hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun
secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada
dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki
argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap
baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka
berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk
membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk
memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang
benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca
Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al
Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan
menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan
acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu alaihi
wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan
agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang
telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah
subhanahu wataala berfirman (artinya):
"Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama
kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak
ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan
menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian
semuanya." (H.R Ath Thabrani)
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa
Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada
suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah
dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Suatu
ketika Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam mendengar berita tentang
pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat
tahajjud dan tidak akan tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan
bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan:
"Saya tidak akan menikah", maka Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam
menegur mereka, seraya berkata: "Apa urusan mereka dengan menyatakan
seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan
saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci
sunnahku maka bukanlah golonganku." (Muttafaqun alaihi)
Para
pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah
subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada
Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya):
"Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
Para
ulama ahli tafsir menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah
yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah
shalAllahu alaihi wasallam.
Tidak
ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu
jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai
tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Atas
dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti
peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak.
Simaklah firman Allah subhanahu wataala (artinya): "Maukah Kami
beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah
berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiAllahu anha, Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak." (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
"Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya."
Maka
beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama.
Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah
subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu
perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan
Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al
Imam Asy SyafiI:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barang
siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan
hukum syara (syariat) sendiri".
Kalau
kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum
bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama
yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si
mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya):
"Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang
telah diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang
secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit
baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka
memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan
oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah
melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu anhum. Jarir bin Abdillah
radhiAllahu anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi
wasallam– berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit
merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah
dan lainnya)
Sehingga
acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari
keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut
pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para
ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al
Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al
Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku
bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah
satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): "Aku membenci acara
berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak
disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan
memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al
Albani hal. 211)
Al
Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah
menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al
Muhadzdzab 5/279 berkata: "Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um,
dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen
lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan
dalam agama (bidah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii?
Malah
yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang
menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban
yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu alaihi
wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
"Hidangkanlah
makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara
(kematian-pent) yang menyibukkan mereka." (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi
dan lainnya)
Mudah-mudahan
pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan
kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu alam. (Dikutip dari:
assalafy):www.suaramedia.com
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengadakan
pertemuan atau perkumpulan untuk membaca Al-Qur’an, shalawat, istigfar,
tahlil dan dzikir lainnya, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang
telah meninggal dunia, hukumnya adalah boleh (jaiz).
Sebagaimana disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Ali Muhammad Al-Syaukani :Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklan tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadist shahih seperti ; Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu. Tidak ada bedanya apakah pembacan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan :
Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru). (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Sebagaimana disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Ali Muhammad Al-Syaukani :Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklan tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadist shahih seperti ; Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu. Tidak ada bedanya apakah pembacan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan :
Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru). (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Imam Al-Syafi’i ra, berkata :
Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit.(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit.(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Syah Waliyullah Al-Dahlawi mengatakan :
Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami,… (Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami,… (Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Ketika
membaca surat Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan,
sebagaimana fatwa Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih :
bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi
seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi fulan bin fulan (kepada ruh
fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku. (Hal itu lebih utama
diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu hancur. (Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).
Tujuh hari dalam tahlilan.
Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi saw.
Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi saw.
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi :
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Kebiasaan
memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang
tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX
Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. sampai sekarang ini, dan
tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa
sahabat Nabi saw.). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194).
Dzikir Fida’ atau Syarwa
Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist : Rasulullah saw. bersabda ; Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari Allah Azza wa Jalla. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188).
Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.
Syarwa Kubro.
Syarwa kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw :
Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist : Rasulullah saw. bersabda ; Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari Allah Azza wa Jalla. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188).
Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.
Syarwa Kubro.
Syarwa kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw :
Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Sumber
: Tahlil Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab
Kuning), oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad. dan Dokumen Penting Tentang
Masalah Agama Islam, oleh : KH. Manshur Shaleh.
sumber http://masdodod.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar