Berkumpul
dalam rangka berdo’a dan menghadiahkan pahala kepada orang yang
meninggal dunia, biasa disebut dengan tahlil atau tahlilan. Walaupun
sebenarnya arti tahlil itu adalah bacaan “laailaaha illallaah”,
penyebutan istilah tersebut dalam sastra Arab disebut dengan istilah
“menyebutkan sebagian, tapi yang dimaksud adalah seluruhnya”. Tahlil
sendiri adalah sebagian dari beberapa macam dzikir yang dibaca pada
acara tersebut.
Budaya tahlil sudah berlangsung lama dan tidak mustahil ia bersamaan dengan datangnya Islam ke negeri ini. Dan
siapa saja yang mau menelusuri tahlil ini, insyaallah akan mendapatkan
bahwa tahlil memiliki sandaran yang kokoh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
serta pendapat-pendapat dari para ulama salaf yang shahih. Tidak satupun
dari butir-butir dalam acara tahlil itu bertentangan dengan ajaran
agama Islam.
Disamping itu terdapat banyak manfaat dari acara tahlil ini, antara lain :
- Sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah SWT untuk diri sendiri dan saudara yang meninggal dunia.
- Merekatkan tali persaudaraan antar sesama, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, karena sejatinya ukhuwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian.
- Untuk mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian, yang setiap jiwa tidak akan terlewati.
- Ditengah hiruk-pikuknya dunia, manusia yang selalu bergelut dengan materi tentu memerlukan kesejukan rohani. Salah satu caranya ialah dengan dzikir (mengingat Allah SWT).
- Tahlil sebagai salah satu media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.
- Sebagai manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi keluarga almarhum yang sedang dirundung duka.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan
manfaatnya tahlil bagi saudara kita yang telah meninggal, karena
sandaran hukumnya jelas dan kuat, serta telah dibahas tuntas ratusan
tahun yang lalu. Bahkan keterkaitannya dengan QS Al-Najm, 39 :
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh sesuatu selain apa yang telah diusahakannya”.
Diantara sekian banyak tafsir QS Al-Najm,
39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang
kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadis yang tegas
menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat
dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu
‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-513 H) sebagai berikut :
“Jawaban yang paling baik menurut
saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena
pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak
teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik, serta
mencintai sesama. Maka semua temam-teman, keturunan dan keluarganya
tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika
telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil
usahanya sendiri” (Al-Ruh, 145)
Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan : “Menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat (39 Al-Najm) وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Karena pada hakekatnya pahala yang
dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya
sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu
tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya.
Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang
telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang
dilakukan si mayit semasa hidupnya”. (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449)
Wallahu a’lam
Sumber : Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (kajian kitab kuning). Oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar